Biasanya, sebelum rasa sakit ini kurasa aku
selalu suka hujan. Aku suka menengadahkan tanganku untuk menikmati tetes demi
tetes air yang jatuh dari langit. Tapi sekarang aku benci hujan. Suara hujan
yang dulu ku suka karena dapat memecah kesunyian, kini terdengar sendu olehku.
Yang mengakibatkan aku tak bisa menghentikan cairan bening yang tiba-tiba
membasahi pipiku.
Hujan membawa kembali kenangan
itu. Kenangan ketika kita menghabiskan waktu bersama-sama di bawah guyurannya.
Ketika kamu memarahiku saat itu. Dan ketika air mataku jatuh bercampur hujan
saat aku merasa tak tega membuatmu harus terjebak bersamaku. Sulit sekali untuk
melupakan peristiwa yang telah tersaring oleh filter kehidupan dan menjadi
kenangan. Itu pertama kalinya dalam hidupku aku menghabiskan waktu yang begitu
lama denganmu. Dan itu juga terakhir kalinya aku bersikap egois dan memaksamu
untuk menuruti keinginanku. Karena rasa marahmu saat itu membuatku benar-benar
merasa takut.
Pertama kalinya sejak aku mulai
mengenalmu saat itu. Baru kali ini aku merasa takut padamu. Bukan karena
sikapmu yang memarahiku. Tapi karena kau berdiam seribu bahasa. Tak sepatah
katapun keluar dari mulutmu. Dimana kamu yang biasanya membalas semua
perkataan-perkataanku? Dimana kamu yang biasanya berdebat denganku? Saat itu
kamu benar-benar terasa asing bagiku. Bahkan lebih asing dibandingkan dengan
ketika kita baru saling mengenal dulu.
Malam itu menjadi malam perpisahanku
denganmu. Dan aku tidak bisa tidur sepanjang malam karena memikirkan sikapmu.
Terlebih berfikir bahwa sekarang usiaku
sudah 22 tahun adanya. Dan selama ini tidak ada perasaan-perasaan aneh yang
muncul di hidupku. Tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap
dengan orang yang aku kagumi. Tapi malam itu, meski menyisakan banyak
pertanyaan, aku tahu bahwa ada momen yang penting dalam hidup kita. Ketika kamu
benar-benar merasa ada sesuatu di hati. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Sayangnya malam itu menjadi malam perpisahanku dengannya. Persis ketika ku
sadari bahwa perasaan itu mulai muncul kecambahnya (sumber: Tere Liye). Aku harus bagaimana ibu? Bagaimana aku
menghadapi hujan kedepannya? Hujan akan mengingatkanku tentang saat itu.
Tentang malam itu. Tentang aku yang menyadari perasaanku untuknya. Bagaimana
aku menghadapinya nanti?
Malang, 17 Januari 2016


0 comments:
Post a Comment