Aku masih
ingat tentang saat itu. Saat dimana kita berencana untuk pergi bersama.
Lampung....kota yang pernah ingin kita tuju...
Kala itu,
kita masih saling berdiam diri satu sama lain. Selepas kita berpisah satu bulan
lamanya karna harus ikut kuliah kerja nyata sebagai salah satu pemenuhan nilai
dalam perkuliahan kita. Kita terpisah jauh entah berapa meter jarak dari
tempatku denganmu. Kau berada di ujung selatan aku di ujung utara, atau kau di
ujung barat sementara aku di ujung timur. Seperti itulah ibaratnya hingga kita
seolah dua kutub magnet yang tak akan pernah bisa saling bertemu.
Tapi, aku
harus mengalah lagi padamu. Ketika harus menelfonmu untuk menanyakan Tugas
Akhir yang akan kita ikutkan callpaper. Suaramu lemah saat ku telfon kala itu.
Terdengar batuk yang mengiringi di sela-sela ucapanmu. Ketika ku tanya kau
sakit? Kau hanya menjawab tidak. Kemudian ku tanya lagi padamu, kau
batuk-batuk, apa kau sakit? Kau baru menjawab “Ya”.
Ketika ku
tanya sampai di mana skripsimu, kau bilang masih bab tiga, mau bab 4 tapi ndak
bisa. Aku mengoceh di telfon memarahimu. Dan kau hanya jawab “iya...”iya...”
Aku katakan padamu bahwa kau harus bicara. Kalau kau tidak mengatakannya padaku
aku tidak akan tahu kalau kau kesulitan. Aku tak akan bisa membantumu untuk
menyelesaikan masalahmu. Jika kau tak ingin aku membantumu kau bisa meminta
bantuan pada orang lain. Kau tak hidup sendiri di dunia ini. Kau bisa dan boleh
meminta bantuan jika kesulitan. Aku menegaskan hal itu padamu. Dan kau menjawab
iya dan bersedia untuk hadir ke Lab esok paginya.
Kita
mengerjakan skripsimu bersama. Aku bersedia membantumu entah kenapa. Apakah
memang karena rasa penasaranku tentang skripsi itu ataukah karena aku tak tega
melihatmu kesulitan. Satu hari kita mengerjakan di hotspot samping danau,
sehari berikutnya kita kerjakan di hotspot perpus hingga larut malam dan hari
berikutnya kita kerjakan di hotspot teknik. Genap tiga hari dan kita sudah
menyelesaikan semuanya. Callpapermu serta skripsimu sudah selesai semuanya.
Kita mengirimkan bersama-sama semua berkas callpaper itu.
Namun, dari
kita berdelapan hanya kamu yang lolos. Kau mengatakan padaku bahwa kau tak
ingin pergi. Kau bilang kenapa kau yang lolos padahal aku yang menginginkan
untuk bisa pergi. Aku sedih, tapi lebih dari itu aku juga turut senang kalau
kau bisa lolos dan paling tidak setidaknya ada satu orang dari kami berdelapan
yang bisa pergi untuk callpaper ke Jember.
Kau
mengatakan bahwa dari judul skripsi hingga semua yang kau terima kini semuanya
berkatku. Kau merasa tidak enak pergi sendririan. Aku hanya bisa mengatakan
padamu bahwa baik aku ataupun kamu yang lolos sama saja. Bukankah itu skripsi
kita?? Kau tetap menolak untuk pergi tapi setelah aku meyakinkanmu atas apa
yang telah kita usahakan selama beberapa hari terakhir akan menjadi sia-sia
saja jika kau tidak pergi. Aku berkata padamu bahwa aku akan membantumu sampai
hari dimana kau akan pergi. Lantas, kau pun setuju dengan itu dan bersedia
untuk pergi.
Beberapa
hari kau pergi, aku hanya bisa menghubungimu lewat handphone untuk bertanya
bagaimana keadaanmu, sudah sampai atau belum, dan semoga lancar. Aku meyelipkan
banyak harap dalam do’aku untukmu di setiap pesan yang ku kirimkan padamu.
Akhirnya setelah beberapa hari itu kau pun kembali membawa berjuta cerita
darisana. Kau tahu aku akan sangat penasaran dengan yang terjadi disana makanya
kau menceritakan setiap detail acara dan kegiatanmu disana dan aku berterima
kasih untuk itu. Paling tidak dari ceritamu aku tau bahwa kau baik-baik saja
dan keputusanku untuk menyuruhmu pergi adalah benar.
Beberapa
hari berikutnya kau menerima pesan untuk mengirim papermu ke Simposium Nasional
Akuntansi (SNA) Lampung. Aku pun kembali membantumu hingga aku terjaga semalaman
untuk menyelesaikannya. Paginya aku tahu bahwa aku mendapatkan pesan yang sama
sepertimu di emailku. Kau berada di sampingku kala itu, dan tahu hal itu. Kau
pun menyuruhku untuk turut serta. Tapi kau tahu dari raut wajahku yang terkejut
ketika melihat nominal rupiah yang harus ku bayarkan untuk bisa pergi kesana.
Tapi kemudian kau berkata “kirimlah juga, aku yang akan membayar”. Aku berbalik
dari layar komputer itu dan menatapmu. Seolah tak percaya dengan apa yang kau
katakan beberapa detik lalu aku mencari jawab itu lagi. Dan kaupun tahu
kemudian meyakinkanku :“aku akan bayar semuanya,”ucapmu lagi.
Tapi itu
bukan jumlah yang sedikit bagaimana dengan orang tuamu?” Kau bilang tak
masalah. Orang tuamu tak akan mempermasalahkan itu. Akhirnya aku pun bergegas
untuk menyelesaikan paperku dan mengirimnya. Aku memikirkannya berhari-hari.
Hari dimana kita akan pergi bersama ke tempat asing. Namun, takdir berkata
lain. Aku mendapat pesan di emailku bahwa harus memperbarui naskah paper kita,
aku terlambat mengetahuinya dan kita pun tak bisa merevisi paper kita.
Aku mengirim
pesan padamu dan kau pun memeriksa emailmu. Dan bahwa benar adanya bahwa kita
sudah terlambat untuk merivisi paper itu. Dan dengan kata lain bahwa hal itu
mengisyaratkan bahwa kita tak bisa pergi ke Lampung bersama-sama.”Bagaimana
ini, padahal aku ingin pergi?” ucapku padamu. Kau berkata “tak apa, mungkin
belum takdir kita”, ucapmu atas tanyaku.
Sejak saat
itulah aku sadar bahwa tak mungkin bagi kita untuk bersama. Terlebih untuk bisa
pergi bersama. Tak ada yang terjadi di antara kita dari awal hingga akhir.
Mungkin Tuhan hanya mempertemukan kita untuk akhirnya berpisah kemudian....


0 comments:
Post a Comment