Wednesday, July 11, 2018

Tak Ada Pergi Bersama, Lampung…




Aku masih ingat tentang saat itu. Saat dimana kita berencana untuk pergi bersama. Lampung....kota yang pernah ingin kita tuju...
Kala itu, kita masih saling berdiam diri satu sama lain. Selepas kita berpisah satu bulan lamanya karna harus ikut kuliah kerja nyata sebagai salah satu pemenuhan nilai dalam perkuliahan kita. Kita terpisah jauh entah berapa meter jarak dari tempatku denganmu. Kau berada di ujung selatan aku di ujung utara, atau kau di ujung barat sementara aku di ujung timur. Seperti itulah ibaratnya hingga kita seolah dua kutub magnet yang tak akan pernah bisa saling bertemu.
Tapi, aku harus mengalah lagi padamu. Ketika harus menelfonmu untuk menanyakan Tugas Akhir yang akan kita ikutkan callpaper. Suaramu lemah saat ku telfon kala itu. Terdengar batuk yang mengiringi di sela-sela ucapanmu. Ketika ku tanya kau sakit? Kau hanya menjawab tidak. Kemudian ku tanya lagi padamu, kau batuk-batuk, apa kau sakit? Kau baru menjawab “Ya”.
Ketika ku tanya sampai di mana skripsimu, kau bilang masih bab tiga, mau bab 4 tapi ndak bisa. Aku mengoceh di telfon memarahimu. Dan kau hanya jawab “iya...”iya...” Aku katakan padamu bahwa kau harus bicara. Kalau kau tidak mengatakannya padaku aku tidak akan tahu kalau kau kesulitan. Aku tak akan bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu. Jika kau tak ingin aku membantumu kau bisa meminta bantuan pada orang lain. Kau tak hidup sendiri di dunia ini. Kau bisa dan boleh meminta bantuan jika kesulitan. Aku menegaskan hal itu padamu. Dan kau menjawab iya dan bersedia untuk hadir ke Lab esok paginya.
Kita mengerjakan skripsimu bersama. Aku bersedia membantumu entah kenapa. Apakah memang karena rasa penasaranku tentang skripsi itu ataukah karena aku tak tega melihatmu kesulitan. Satu hari kita mengerjakan di hotspot samping danau, sehari berikutnya kita kerjakan di hotspot perpus hingga larut malam dan hari berikutnya kita kerjakan di hotspot teknik. Genap tiga hari dan kita sudah menyelesaikan semuanya. Callpapermu serta skripsimu sudah selesai semuanya. Kita mengirimkan bersama-sama semua berkas callpaper itu.
Namun, dari kita berdelapan hanya kamu yang lolos. Kau mengatakan padaku bahwa kau tak ingin pergi. Kau bilang kenapa kau yang lolos padahal aku yang menginginkan untuk bisa pergi. Aku sedih, tapi lebih dari itu aku juga turut senang kalau kau bisa lolos dan paling tidak setidaknya ada satu orang dari kami berdelapan yang bisa pergi untuk callpaper ke Jember.
Kau mengatakan bahwa dari judul skripsi hingga semua yang kau terima kini semuanya berkatku. Kau merasa tidak enak pergi sendririan. Aku hanya bisa mengatakan padamu bahwa baik aku ataupun kamu yang lolos sama saja. Bukankah itu skripsi kita?? Kau tetap menolak untuk pergi tapi setelah aku meyakinkanmu atas apa yang telah kita usahakan selama beberapa hari terakhir akan menjadi sia-sia saja jika kau tidak pergi. Aku berkata padamu bahwa aku akan membantumu sampai hari dimana kau akan pergi. Lantas, kau pun setuju dengan itu dan bersedia untuk pergi.
Beberapa hari kau pergi, aku hanya bisa menghubungimu lewat handphone untuk bertanya bagaimana keadaanmu, sudah sampai atau belum, dan semoga lancar. Aku meyelipkan banyak harap dalam do’aku untukmu di setiap pesan yang ku kirimkan padamu. Akhirnya setelah beberapa hari itu kau pun kembali membawa berjuta cerita darisana. Kau tahu aku akan sangat penasaran dengan yang terjadi disana makanya kau menceritakan setiap detail acara dan kegiatanmu disana dan aku berterima kasih untuk itu. Paling tidak dari ceritamu aku tau bahwa kau baik-baik saja dan keputusanku untuk menyuruhmu pergi adalah benar.
Beberapa hari berikutnya kau menerima pesan untuk mengirim papermu ke Simposium Nasional Akuntansi (SNA) Lampung. Aku pun kembali membantumu hingga aku terjaga semalaman untuk menyelesaikannya. Paginya aku tahu bahwa aku mendapatkan pesan yang sama sepertimu di emailku. Kau berada di sampingku kala itu, dan tahu hal itu. Kau pun menyuruhku untuk turut serta. Tapi kau tahu dari raut wajahku yang terkejut ketika melihat nominal rupiah yang harus ku bayarkan untuk bisa pergi kesana. Tapi kemudian kau berkata “kirimlah juga, aku yang akan membayar”. Aku berbalik dari layar komputer itu dan menatapmu. Seolah tak percaya dengan apa yang kau katakan beberapa detik lalu aku mencari jawab itu lagi. Dan kaupun tahu kemudian meyakinkanku :“aku akan bayar semuanya,”ucapmu lagi.
Tapi itu bukan jumlah yang sedikit bagaimana dengan orang tuamu?” Kau bilang tak masalah. Orang tuamu tak akan mempermasalahkan itu. Akhirnya aku pun bergegas untuk menyelesaikan paperku dan mengirimnya. Aku memikirkannya berhari-hari. Hari dimana kita akan pergi bersama ke tempat asing. Namun, takdir berkata lain. Aku mendapat pesan di emailku bahwa harus memperbarui naskah paper kita, aku terlambat mengetahuinya dan kita pun tak bisa merevisi paper kita.
Aku mengirim pesan padamu dan kau pun memeriksa emailmu. Dan bahwa benar adanya bahwa kita sudah terlambat untuk merivisi paper itu. Dan dengan kata lain bahwa hal itu mengisyaratkan bahwa kita tak bisa pergi ke Lampung bersama-sama.”Bagaimana ini, padahal aku ingin pergi?” ucapku padamu. Kau berkata “tak apa, mungkin belum takdir kita”, ucapmu atas tanyaku.
Sejak saat itulah aku sadar bahwa tak mungkin bagi kita untuk bersama. Terlebih untuk bisa pergi bersama. Tak ada yang terjadi di antara kita dari awal hingga akhir. Mungkin Tuhan hanya mempertemukan kita untuk akhirnya berpisah kemudian....



0 comments:

Post a Comment

Wednesday, July 11, 2018

Tak Ada Pergi Bersama, Lampung…

Posted by Kisara's Story at July 11, 2018



Aku masih ingat tentang saat itu. Saat dimana kita berencana untuk pergi bersama. Lampung....kota yang pernah ingin kita tuju...
Kala itu, kita masih saling berdiam diri satu sama lain. Selepas kita berpisah satu bulan lamanya karna harus ikut kuliah kerja nyata sebagai salah satu pemenuhan nilai dalam perkuliahan kita. Kita terpisah jauh entah berapa meter jarak dari tempatku denganmu. Kau berada di ujung selatan aku di ujung utara, atau kau di ujung barat sementara aku di ujung timur. Seperti itulah ibaratnya hingga kita seolah dua kutub magnet yang tak akan pernah bisa saling bertemu.
Tapi, aku harus mengalah lagi padamu. Ketika harus menelfonmu untuk menanyakan Tugas Akhir yang akan kita ikutkan callpaper. Suaramu lemah saat ku telfon kala itu. Terdengar batuk yang mengiringi di sela-sela ucapanmu. Ketika ku tanya kau sakit? Kau hanya menjawab tidak. Kemudian ku tanya lagi padamu, kau batuk-batuk, apa kau sakit? Kau baru menjawab “Ya”.
Ketika ku tanya sampai di mana skripsimu, kau bilang masih bab tiga, mau bab 4 tapi ndak bisa. Aku mengoceh di telfon memarahimu. Dan kau hanya jawab “iya...”iya...” Aku katakan padamu bahwa kau harus bicara. Kalau kau tidak mengatakannya padaku aku tidak akan tahu kalau kau kesulitan. Aku tak akan bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu. Jika kau tak ingin aku membantumu kau bisa meminta bantuan pada orang lain. Kau tak hidup sendiri di dunia ini. Kau bisa dan boleh meminta bantuan jika kesulitan. Aku menegaskan hal itu padamu. Dan kau menjawab iya dan bersedia untuk hadir ke Lab esok paginya.
Kita mengerjakan skripsimu bersama. Aku bersedia membantumu entah kenapa. Apakah memang karena rasa penasaranku tentang skripsi itu ataukah karena aku tak tega melihatmu kesulitan. Satu hari kita mengerjakan di hotspot samping danau, sehari berikutnya kita kerjakan di hotspot perpus hingga larut malam dan hari berikutnya kita kerjakan di hotspot teknik. Genap tiga hari dan kita sudah menyelesaikan semuanya. Callpapermu serta skripsimu sudah selesai semuanya. Kita mengirimkan bersama-sama semua berkas callpaper itu.
Namun, dari kita berdelapan hanya kamu yang lolos. Kau mengatakan padaku bahwa kau tak ingin pergi. Kau bilang kenapa kau yang lolos padahal aku yang menginginkan untuk bisa pergi. Aku sedih, tapi lebih dari itu aku juga turut senang kalau kau bisa lolos dan paling tidak setidaknya ada satu orang dari kami berdelapan yang bisa pergi untuk callpaper ke Jember.
Kau mengatakan bahwa dari judul skripsi hingga semua yang kau terima kini semuanya berkatku. Kau merasa tidak enak pergi sendririan. Aku hanya bisa mengatakan padamu bahwa baik aku ataupun kamu yang lolos sama saja. Bukankah itu skripsi kita?? Kau tetap menolak untuk pergi tapi setelah aku meyakinkanmu atas apa yang telah kita usahakan selama beberapa hari terakhir akan menjadi sia-sia saja jika kau tidak pergi. Aku berkata padamu bahwa aku akan membantumu sampai hari dimana kau akan pergi. Lantas, kau pun setuju dengan itu dan bersedia untuk pergi.
Beberapa hari kau pergi, aku hanya bisa menghubungimu lewat handphone untuk bertanya bagaimana keadaanmu, sudah sampai atau belum, dan semoga lancar. Aku meyelipkan banyak harap dalam do’aku untukmu di setiap pesan yang ku kirimkan padamu. Akhirnya setelah beberapa hari itu kau pun kembali membawa berjuta cerita darisana. Kau tahu aku akan sangat penasaran dengan yang terjadi disana makanya kau menceritakan setiap detail acara dan kegiatanmu disana dan aku berterima kasih untuk itu. Paling tidak dari ceritamu aku tau bahwa kau baik-baik saja dan keputusanku untuk menyuruhmu pergi adalah benar.
Beberapa hari berikutnya kau menerima pesan untuk mengirim papermu ke Simposium Nasional Akuntansi (SNA) Lampung. Aku pun kembali membantumu hingga aku terjaga semalaman untuk menyelesaikannya. Paginya aku tahu bahwa aku mendapatkan pesan yang sama sepertimu di emailku. Kau berada di sampingku kala itu, dan tahu hal itu. Kau pun menyuruhku untuk turut serta. Tapi kau tahu dari raut wajahku yang terkejut ketika melihat nominal rupiah yang harus ku bayarkan untuk bisa pergi kesana. Tapi kemudian kau berkata “kirimlah juga, aku yang akan membayar”. Aku berbalik dari layar komputer itu dan menatapmu. Seolah tak percaya dengan apa yang kau katakan beberapa detik lalu aku mencari jawab itu lagi. Dan kaupun tahu kemudian meyakinkanku :“aku akan bayar semuanya,”ucapmu lagi.
Tapi itu bukan jumlah yang sedikit bagaimana dengan orang tuamu?” Kau bilang tak masalah. Orang tuamu tak akan mempermasalahkan itu. Akhirnya aku pun bergegas untuk menyelesaikan paperku dan mengirimnya. Aku memikirkannya berhari-hari. Hari dimana kita akan pergi bersama ke tempat asing. Namun, takdir berkata lain. Aku mendapat pesan di emailku bahwa harus memperbarui naskah paper kita, aku terlambat mengetahuinya dan kita pun tak bisa merevisi paper kita.
Aku mengirim pesan padamu dan kau pun memeriksa emailmu. Dan bahwa benar adanya bahwa kita sudah terlambat untuk merivisi paper itu. Dan dengan kata lain bahwa hal itu mengisyaratkan bahwa kita tak bisa pergi ke Lampung bersama-sama.”Bagaimana ini, padahal aku ingin pergi?” ucapku padamu. Kau berkata “tak apa, mungkin belum takdir kita”, ucapmu atas tanyaku.
Sejak saat itulah aku sadar bahwa tak mungkin bagi kita untuk bersama. Terlebih untuk bisa pergi bersama. Tak ada yang terjadi di antara kita dari awal hingga akhir. Mungkin Tuhan hanya mempertemukan kita untuk akhirnya berpisah kemudian....



0 comments on "Tak Ada Pergi Bersama, Lampung…"

Post a Comment

 

Kisara's Diary Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang